Pendidikan Tersier: Mempertanyakan Esensi Kuliah di Mata Publik
Belakangan ini, perdebatan seputar esensi Pendidikan Tersier semakin mengemuka di ruang publik. Sebuah pernyataan dari Kemendikbudristek yang mengklasifikasikan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier telah memicu diskusi luas, mempertanyakan kembali apakah kuliah kini lebih dominan sebagai penunjang gaya hidup dan status sosial ketimbang kebutuhan fundamental untuk pengembangan karier dan ilmu pengetahuan. Pergeseran persepsi ini menuntut kita untuk meninjau ulang peran dan tujuan dari pendidikan pasca-sekolah menengah.
Secara definisi, Pendidikan Tersier merujuk pada jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, yang mencakup universitas, politeknik, dan institusi pendidikan tinggi lainnya. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan pengetahuan spesifik, keterampilan profesional, dan kemampuan penelitian yang lebih mendalam. Namun, di masyarakat, pandangan terhadapnya seringkali lebih kompleks. Banyak yang melihatnya sebagai syarat mutlak untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi atau meningkatkan status sosial, bukan semata-mata untuk mencari ilmu atau mengembangkan diri. Fenomena ini diperkuat dengan tuntutan pasar kerja yang semakin mengutamakan gelar sarjana, bahkan untuk posisi yang mungkin tidak selalu membutuhkan kualifikasi akademis setinggi itu.
Persepsi ini menciptakan sebuah dilema. Di satu sisi, investasi dalam Pendidikan Tersier memang krusial untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa dan mendorong inovasi. Perguruan tinggi adalah pusat penelitian dan pengembangan yang vital untuk kemajuan di berbagai sektor. Di sisi lain, biaya kuliah yang semakin tinggi, ditambah dengan stigma sosial bagi mereka yang tidak melanjutkan ke perguruan tinggi, bisa menjadi beban berat. Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Pendidikan pada 18 Mei 2025 menunjukkan bahwa 60% orang tua di perkotaan menganggap kuliah sebagai investasi wajib untuk masa depan anak, terlepas dari minat atau bakat akademik anak tersebut.
Pertanyaan esensial yang muncul adalah: apakah sistem Pendidikan Tersier saat ini masih relevan dengan kebutuhan riil masyarakat dan pasar kerja? Bagaimana agar pendidikan tinggi tidak hanya menjadi simbol status, tetapi benar-benar membekali lulusannya dengan kompetensi yang dibutuhkan dan nilai-nilai yang kuat? Perguruan tinggi perlu beradaptasi, menawarkan program-program yang lebih fleksibel, berorientasi pada keterampilan praktis, dan mampu menjawab dinamika industri yang terus berubah. Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kebijakan yang lebih adil dalam akses pendidikan tinggi, memastikan bahwa kesempatan belajar tidak hanya terbatas pada kalangan tertentu.
Pada akhirnya, perdebatan tentang Pendidikan Tersier ini adalah kesempatan untuk merefleksikan kembali visi dan misi pendidikan tinggi di Indonesia. Penting untuk mengembalikan esensinya sebagai fondasi pengembangan ilmu pengetahuan dan persiapan karier yang fundamental, bukan sekadar pelengkap gaya hidup. Dengan begitu, pendidikan tinggi dapat benar-benar berkontribusi pada kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat secara luas.